Baju zirah zaman Ottoman, replika perahu Panglima Cheng Ho, jejak Keraton Sumenep, sampai teknologi augmented reality. Indonesian Islamic Art Museum di Lamongan tak hanya menawarkan tambahan literasi Islam, tapi juga permainan visual tiga dimensi.
WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Lamongan
—
BERJARAK ribuan kilometer. Terpisah waktu berabad-abad. Tapi, derap pasukan berkuda Kekaisaran Ottoman sana masih terdengar hingga ke Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sampai sekarang ini.
Caranya? Gampang! Datang saja ke Indonesian Islamic Art Museum yang berada dalam satu kompleks di Wisata Bahari Lamongan (WBL). Cukup dengan membuka aplikasi dan mengarahkan ke barcode, pasukan Ottoman, kekaisaran yang berpusat di Turki dan eksis pada abad ke-13 sampai 19, bakal muncul secara 3D.
Museum yang juga dikenal dengan nama Museum Islamic 3D itu merangkum peradaban sejarah Islam di dunia hingga akhirnya bagaimana Islam sampai ke Nusantara. Tapi, tak sekadar memamerkan benda bersejarah. Menggunakan teknologi augmented reality (AR), yang memasukinya seakan diajak berinteraksi dalam dunia tiga dimensi.
Indonesian Islamic Art Museum dibagi menjadi empat zona. Yakni, zona teater, zona galeri peninggalan kerajaan Islam dunia, zona diorama, dan zona 3D.
Begitu masuk, layar besar dan pencahayaan remang-remang menyambut. Dilengkapi kursi empuk, pengunjung disuguhi film peradaban sejarah Islam yang berlangsung sekitar 15 menit.
Terus melangkah, bersiroboklah dengan zona galeri peninggalan kerajaan Islam dunia. Total ada ratusan koleksi yang dipajang. Salah satunya yang paling membetot perhatian adalah barang-barang dari era Ottoman. Di antaranya, kostum perang atau baju zirah pasukan kavaleri.
Baju tersebut terbuat dari besi dengan tujuan untuk melindungi si pemakai dari sabetan pedang. Ada tameng, helm, dan sepatu. ”Bajunya saja beratnya 17 kilogram, tapi kalau dipakai semua sekitar 60 kilogram,” kata storyteller dari Islamic Art Museum, Wiwin Maria Ulfa.
Pedang bernama Zulfikar Shamshir juga tidak boleh dilewati. Menurut Wiwin, pedang itu dibuat mirip seperti pedang Nabi Muhammad. Ada juga Alquran bertinta emas pada masa Ottoman. ”Tulisan tinta emas hanya di tiga surah, yaitu Al Fatihah, Al Kahfi, dan An Nas,” ucapnya saat menemani Jawa Pos berkeliling museum.
Hampir di setiap lorong terdapat semacam papan literasi. Lengkap dengan grafis dan tanda barcode khusus. Itulah yang membedakan museum yang dibuka pada akhir 2016 tersebut dengan museum lain. Sebab, pengalaman interaksi virtual bisa dirasakan secara langsung.
Wiwin menuturkan, sebelum masuk, pengunjung dianjurkan untuk mengunduh aplikasi Islamic Art Museum di PlayStore. Hanya dengan menempatkan gawai ke barcode khusus, pengunjung sudah bisa bermain dan berfoto.
Menurut Wiwin, ikon masjid di beberapa dunia juga disediakan untuk pengambilan gambar 3D. Jika dilihat tanpa gadget, sekilas memang biasa saja. Tapi, dari aplikasi keluar bentuk bangunan dan suara azan. Suaranya pun menyesuaikan lokasi masjid.
Dari tanah air, di antaranya ada jejak perjalanan Wali Sanga, Kerajaan Mataram Islam, sampai Keraton Sumenep.
Di zona diorama, terdapat spot foto yang sebagian besar bernuansa kisah Panglima Cheng Ho. Perahu panglima dari Tiongkok itu dibuat semirip-miripnya, bahkan bisa dinaiki pengunjung.
Sementara itu, di area film 3D temanya dibuat berbeda: film dinosaurus dengan kacamata khusus. Zona itu lebih menonjolkan keseruan visual dan edukasi, sesuatu yang umumnya ditunggu anak-anak.
Wiwin menjelaskan, pada hari-hari biasa, pengunjung museum sekitar 50–100 orang dengan tarif Rp 15 ribu. Paling banyak pelajar. Jumat–Minggu tarifnya Rp 20 ribu.
Hariyono, salah seorang pengunjung yang ditemui Jawa Pos, mengungkapkan, perpaduan koleksi museum dengan teknologi AR membuat anak-anak tak hanya mendapatkan literasi sejarah Islam. Tapi juga permainan visual secara 3D.
”Sehingga bisa terjalin interaktif yang menarik. Apalagi, dalam aplikasi juga disediakan guide secara virtual,” katanya.